Hembusan udara dingin dari AC (Air Conditioning) kamar merasuk ke setiap sudut ruang kamar berukuran 4×4 yang ditempati Taxlan (29) dan Dewi (29). Suasana hening. Keduanya termenung dengan mata terpaku pada layar ponsel tatkala mereka melihat sebuah postingan di media sosial mengenai Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 2 Tahun 2023. Terpancar rona kecemasan. Postingan itu seakan menghancurkan mimpi yang telah mereka bangun selama tiga tahun terakhir. 

“Sesulit itu di negeri ini? Haruskah kami menikah ke luar negeri dulu baru pulang?” keluh Taxlan.

Pernikahan beda agama di Indonesia tidak hanya rumit, tetapi juga ibarat jalan terjal  yang harus melewati gesekan sosial dan budaya, dan kini kian diperumit dengan regulasi dari negara. Terlebih lagi, aturan baru yang menekankan pengadilan agar tidak mengabulkan permohonan pernikahan beda agama.

Keironisan tersebut seakan bertentangan dengan prinsip-prinsip yang tertuang dalam Pasal 16 ayat (1) Deklarasi Universal HAM, yang mencakup hak untuk menikah tanpa diskriminasi terhadap keyakinan, di mana laki-laki dan perempuan yang sudah dewasa, dengan tidak dibatasi kebangsaan, kewarganegaraan atau agama, berhak untuk menikah.

Berdomisili di Kota Palembang, Taxlan dan Dewi menjalani hari-hari sebagai pasangan dengan mencari secercah ruang aman sembari menanti titik terang dari negara. Rasa takut dan khawatir akan lingkungan sekitar kerap menghantui mereka. Tak jarang, keduanya sering berkelit tatkala kecurigaan menghampiri. Di balik segala kerumitan itu, pasangan ini tetap berharap dapat menjalankan hak asasi mereka tanpa terpaku pada batasan agama atau kepercayaan.

Humaidy Aditya Kenedy adalah jurnalis muda lulusan S1 Jurnalistik Universitas Islam Negeri Raden Fatah Palembang. Berpengalaman kurang lebih tiga tahun dalam dunia jurnalistik, mulai dari Lembaga Pers Mahasiswa, dunia kerja, hingga freelancer. Dia berpengalaman dalam berbagai liputan, baik tulis, fotografi, ataupun videografi.