“Menikah itu nasib, mencintai itu takdir. Kamu bisa berencana menikahi siapa, tapi kamu tak dapat merencanakan cintamu untuk siapa.” ujar seniman Sujiwo Tejo. Kalimatnya begitu mengilhami perjalanan cinta saya di atas sebuah pertemuan dan perbedaan iman.

Pada Februari 2018, saya kembali intens bertemu dengan seorang perempuan yang telah saya kenal sejak berkuliah pada 2013. Tanpa rencana, di pertemuan intens itu saya mulai menemukan ketertarikan. Cinta bersemi di antara kami, bahkan sampai hari ini.

Singkat cerita, hubungan kami berjalan hampir 5 tahun. Kami punya harapan dan misi yang ingin dicapai bersama. Namun, semua impian itu terhalang dengan sebuah jurang lebar di hadapan kami. Ya, cinta kami berjalan di atas perbedaan iman.

Jika kembali ke paragraf awal, maka ucapan Sujiwo Tejo benar adanya. Saya, begitu pula dengan pasangan saya, tak pernah merencanakan akan memberikan cinta untuk siapa. Semua berjalan begitu alami.

Perjalanan panjang cinta saya dengan pasangan terpaksa kandas di atas perbedaan. Pelaminan yang kami bayangkan meranggas di hadapan kenyataan regulasi perkawinan di Indonesia yang tak mengizinkan pernikahan beda iman. Tak satu pun dari kami yang mau mengalah dengan iman kami.

Kisah cinta kawan kami pun senada, perbedaan iman selalu berujung perpisahan. Akankah nasib serupa terjadi pada kami?

Dalam sebuah percakapan kami pernah saling berujar, apakah pada akhirnya cinta kami akan berbuah bahagia atau kesedihan. Kami berusaha saling melepas dan membuka diri agar mendapatkan pasangan yang seiman. Namun, jalan cinta akhirnya selalu menuntun kami mencari satu sama lain. Kami pernah sampai pada pembicaraan bahwa salah satu dari kami harus meninggalkan kota. Menjauh sehingga tidak bisa saling bertemu. Hingga cinta itu perlahan memudar dan hilang.

“Saya akan lepas kau, kalau kau menemukan pasangan yang seiman” 

“Kau mau lepas betulan saya? Bisa kita saling lepas?”

Pertanyaan itu tidak terjawab.

Saya lalu mengantarnya pulang, dan dia memelukku erat.

Pembahasan tentang kisah ini selalu menyimpan ruang tersendiri dari masing-masing mereka yang menjalaninya. Dan terlepas dari semua persoalan yang ada, bagi saya, setiap cinta akan menemukan jalannya masing-masing.

Yahya M. Ilyas, fotografer lepas asal Palu, Sulawesi Tengah. Menekuni fotografi sejak 2013 saat menempuh studi Ilmu Komunikasi, Universitas Tadulako. Tertarik pada fotografi perjalanan, lingkungan, sosial, dan budaya. Saat ini bekerja di salah satu NGO lokal. Karyanya pernah diterbitkan di beberapa media siber, Inflight Magazine, dan proyek fotonya juga pernah ditampilkan di Goethe Institute dalam pameran tugas akhir melalui Program Panna Mentorship oleh PannaFoto Institute (2017), dan Solo Photo Festival ‘Memoar’ (2021).