Semenjak demo mahasiswa 1978 yang saya ikuti dibuat porak poranda oleh militer, hal besar yang ingin saya lihat adalah tumbangnya rezim Soeharto. Persis dua puluh tahun kemudian, 1998, hal itu terjadi. Tapi, tanda-tanda menuju ke sana telah tampak beberapa tahun sebelumnya. Saya mencatat empat tanda.

Tanda pertama, meninggalnya Bu Tien, Ibu Negara dan sosok yang dianggap sebagai kekuatan batin suaminya. Tanda kedua, terjadinya peristiwa “Kudatuli”—akronim dari Kerusuhan 27 Juli. Pemerintah menangkapi anak-anak muda aktivis sebuah partai yang sangat kecil, PRD. Bagi saya itu menunjukkan rezim telah lemah. Kedua peristiwa itu terjadi tahun 1996. Tanda ketiga: krisis moneter. Tanda keempat: kelas menengah yang biasanya apatis dan apolitis mulai bergerak dan mendukung demonstrasi mahasiswa.

Tanda-tanda itu saya catat dalam perjalanan waktu, dalam bentuk fotografi. Barangkali obsesi saya untuk melihat rezim militer tumbang. Tapi, pada saat yang sama, di dekade 1990-an, saya memfokuskan diri memotret kelas menengah di Jakarta, kelas yang saya merupakan bagiannya. Fokus ini saya pilih karena fotografi profesional yang saya geluti di Indonesia sebelumnya didominasi pendekatan jurnalisme dan dokumenter, yang berjarak dari subyek foto, bahkan melihat subyek foto sebagai obyek. Saya ingin memotret kelompok masyarakat di mana saya adalah bagiannya. Saya ingin foto saya personal, subyektif, dan membuka ruang hubungan antar persona—termasuk antara fotografer dan orang-orang sekitarnya. Ternyata, pada dekade itu, kelas menengah juga menjadi ujung tombak perubahan politik.